Jakarta—Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak gugatan masa jabatan presiden terkait Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terhadap UUD 1945. MK memutuskan menolak permohonan UU Pemilu yang diajukan oleh diajukan oleh Herifuddin Daulay dan dibacakan oleh ketua majelis hakim Anwar Usman dalam sidang amar putusan di MK, Jakarta Pusat, Selasa (28/2/2023).
Terhadap putusan MK tersebut, anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR
RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid, mengapresasi MK yang memutuskan menolak
permohonan perpanjangan masa jabatan presiden lebih dari dua periode, serta
berharap MK dapat terus konsisten dalam mengawal demokrasi konstitusional dalam
perkara-perkara yang lainnya seperti dengan menolak permohonan sistem pemilu
tertutup yang menjadi perhatian publik akhir-akhir ini.
HNW--sapaan
akrabnya--menyatakan bahwa putusan MK dalam perkara
Nomor 4/PUU-XXI/2023 ini sudah sangat tepat dilihat dari sisi manapun, baik
secara tekstual konstitusi maupun dari spirit demokrasi dan reformasi yang
melatarbelakanginya.
“Secara tekstual, Pasal 7 UUD NRI
1945 sudah sangat jelas memberikan pembatasan masa jabatan Presiden maksimal
hanya dua periode, dalam Pemilu yang diselenggarakan 5 tahun sekali sebagaimana
diatur dalam pasal 22E ayat (1). Sehingga tidak bisa ditafsirkan lain,”
ujarnya.
Ketentuan Pasal 7 UUD NRI 1945
berbunyi, ‘Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali
masa jabatan.’
Sedangkan, dari sisi latar belakang
atau original intent, HNW menuturkan bahwa pembatasan tersebut merupakan spirit
dari reformasi yang ingin mengawal demokrasi, agar terjadi pergantian
kepemimpinan, sehingga tidak menciptakan kekuasaan tanpa batasan yang bisa
membonsai demokrasi/hak2 kedaulatan Rakyat, menghadirkan KKN dan kediktatoran
sebagaimana sebelumnya.
”Ini sejalan dengan amanat reformasi
dan juga mengawal demokrasi substantif, agar bisa terus berjalan dengan baik di
Indonesia, untuk menjauhkan bangsa dan negara dari kekuasaan absolut akibat
tidak adanya pembatasan masa jabatan Presiden, yang bisa hadirkan KKN dan
diktatorisme,” ujarnya.
Wakil Ketua Majelis Syura Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) ini berharap sikap MK dalam mengawal agenda reformasi
dan demokrasi konstitusional yang tercantum dalam Pancasila dan UUD NRI 1945
juga konsisten diterapkan dalam perkara-perkara sejenis yang lain. Seperti yang
terkait dengan permohonan uji materi yang ingin mengarahkan perubahan sistem
pemilu ke tertutup tidak lagi sistem terbuka sebagaimana keputusan MK yang diterapkan
dalam beberapa pemilu terakhir.
“Upaya-upaya untuk mengubah dari
sistem terbuka ke tertutup yang bisa berdampak pada kemunduran praktek
demokrasi, harus diperhatikan dan juga dicegah oleh MK. Jangan sampai MK
dinilai sebagi ikut serta sebagai pihak yang melakukan ‘set back’ berdemokrasi
itu. Konsistensi sikap MK yang dulu memutuskan dan mengubah sistem pemilu
tertutup jadi terbuka itu harusnya ditetapkan dan dilanjutkan. Konsistensi MK
seperti itu selain diapresiasi publik sebagaimana putusan MK sebelumnya yang
menolak usulan Presiden 2 periode bisa maju sebagai Cawapres, konsistensi MK
memegangi ketentuan Konstitusi itu akan membantu memulihkan marwah dan
kepercayaan Publik terhadap MK,” jelasnya.
Konsistensi yang dimaksud oleh HNW
adalah sikap MK yang dulu pada tahun 2008 juga pernah mengadili perkara serupa.
Lalu, MK memutuskan mendorong agar sistem pemilu tidak tertutup lagi, tapi
diubah ke sistem terbuka, karena lebih demokratis dan konstitusional sejalan
dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) berkaitan dengan kedaulatan rakyat dan pasal
22 ayat (2) bahwa yang dipilih oleh Rakyat adalah anggota DPR, DPRD dst bukan
memilih Partai Politik.
Dengan sistem terbuka, lanjutnya,
Rakyat pemilik kedaulatan dan hak pilih, bisa mengetahui siapa yang akan dipilihnya
dan siapa yang akan mewakilinya di DPR. Bukan hanya memilih Partai tapi tidak
tahu dan tidak mengenali apalagi mempercayai calon wakil mereka di Parlemen.
Itu jadi nya seperti ‘membeli kucing dalam karung’, tidak memenuhi hak Rakyat
pemilik kedaulatan dan hak pilih.
HNW berpendapat bahwa sistem
tertutup jelas tidak mencerminkan prinsip demokrasi yang diatur oleh UUDNRI
1945, juga tidak sejalan dengan spirit Reformasi. Mengubah dari sistem terbuka
ke tertutup, selain tak sesuai dengan sifat keputusan MK yang final dan
mengikat, juga akan membawa Demokrasi di Indonesia mundur ke belakang sebelum
tahun 2008.
“Hal yang harusnya dihindari, apalagi Pemilu 2024 akan bertemu dengan mayoritas calon pemilih adalah dari kalangan Milenial/generasi Z yang kritis tapi juga apatis. Dengan keputusan MK menolak perpanjangan masa jabatan Presiden melebihi 2 periode, yang diapresiasi itu, mestinya MK konsisten menjadi bagian yang memajukan Pemilu yang demokratis dan konstitusional, bukan malah membuat Pemilu jadi mundur dengan mengabulkan/memberlakukan sistem tertutup, sebagaimana dipraktekkan di Indonesia sebelum tahun 2008,” pungkasnya. R! (sumber: https://bit.ly/3J7BuKi)