Jakarta—Silicon Valley Bank (SVB) bangkrut dan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) Amerika Serikat menutup salah satu bank terbaik tersebut pada 10 Maret lalu. Penutupan bank itu membuat spekulasi terjadi di berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia.
Agar spekulasi yang berembus di masyarakat tidak meluas, Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) meyakinkan bahwa penutupan SVB tidak
akan berdampak langsung terhadap industri perbankan Indonesia karena memiliki
kondisi yang kuat dan stabil.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan
OJK Dian Ediana Rae mengatakan penutupan SVB diperkirakan tidak berdampak
langsung terhadap Perbankan Indonesia yang tidak memiliki hubungan bisnis,
facility line maupun investasi pada produk sekuritisasi SVB.
Selain itu,
berbeda dengan SVB dan perbankan di AS umumnya, bank-bank di Indonesia tidak
memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan technology startups maupun
kripto.
"Oleh karena itu, OJK
mengharapkan agar masyarakat dan Industri tidak terpengaruh terhadap berbagai
spekulasi yang berkembang di kalangan masyarakat," kata Dian.
Menurutnya, Indonesia setelah krisis
keuangan tahun 1998 telah melakukan langkah-langkah yang mendasar dalam rangka
penguatan kelembagaan, infrastruktur hukum, dan penguatan tata kelola serta
perlindungan nasabah yang telah menciptakan sistem perbankan yang kuat,
resilien dan stabil.
Hal ini tercermin dari kinerja
Industri Perbankan yang terjaga baik dan solid serta tetap tumbuh positif di
tengah tekanan perekonomian domestik dan global yang selama ini berlangsung.
Pada saat ini, kondisi perbankan
Indonesia menunjukkan kinerja likuiditas yang baik antara lain AL/NCD dan
AL/DPK diatas threshold yakni sebesar 129,64 persen dan 29,13 persen jauh
diatas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.
Aset perbankan juga terjaga pada
komposisi yang proporsional dengan komposisi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang
didominasi oleh current account and saving account (CASA) atau dana murah yang
semakin meningkat sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga.
Demikian
juga, untuk kinerja lainnya seperti risiko kredit, risiko pasar, permodalan,
dan profitabilitas masih terjaga dan tumbuh positif. Selain itu, saat ini tidak
ada bank umum di Indonesia yang masuk dalam kategori "Bank Dalam
Resolusi" yaitu bank yang mengalami kesulitan keuangan, membahayakan
kelangsungan usahanya, dan tidak dapat disehatkan.
OJK terus melakukan berbagai langkah
kebijakan kolaboratif dan sinergi dengan Bank Indonesia, Kementerian Keuangan,
Lembaga Penjamin Simpanan, baik secara langsung maupun melalui Komite
Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam rangka mengantisipasi dampak dan
tekanan global yang mungkin terjadi.
OJK memastikan akan terus
meningkatkan pemantauan terhadap berbagai perkembangan yang terjadi secara
global dan implikasinya terhadap Perbankan Indonesia, memastikan penerapan
manajemen risiko dan tata kelola Bank yang baik dalam setiap aktivitas
pengelolaan portofolio aset produktif dan pendanaan serta memitigasi risiko
konsentrasi yang berdampak terhadap kinerja keuangan Bank.
Selain itu, OJK juga meminta
perbankan untuk senantiasa melakukan langkah-langkah strategis antara lain
meningkatkan fungsi maupun peran Asset & Liability Committeedalam melakukan
pengelolaan aset dan kewajiban, mengevaluasi kecukupan pencadangan risiko,
melakukan stress test yang komprehensif serta mengkaji dan mengkinikan recovery
dan resolution plan secara berkala.
Kebijakan OJK akan terus
diarahkan untuk menciptakan situasi kondisi yang semakin kondusif dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. (R!)